A. Makro
Ekonomi Global: Perlambatan pertumbuhan The
Emerging Economy Countries
Krisis ekonomi
global sejak 2008 hingga 2013 telah memberikan gelombang perubahan yang
signifikan terhadap situasi perekonomian global. Kejatuhan ekonomi di Amerika
Serikat dan Uni Eropa telah mengubah poros pertumbuhan ekonomi dunia ke
Negara-negara di Asia. Asia telah menjadi mesin
pertumbuhan dunia, terlebih dengan kebangkitan BRICS (Brazil, Rusia, India,
China, dan South Africa). Tingginya angka pertumbuhan ekonomi di negara-negara Emerging Economy, khususnya China,
India, dan Indonesia, telah menjadi sasaran investasi dan membanjirnya modal
asing. Grafik perbandingan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang maju
di dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar
1. Persentase Pertumbuhan Negara Maju dan Berkembang Sepanjang 2010-2012
Sumber: Pusat
Pengelolaan Pengetahuan IGJ (2013) diolah dari The Conference Board Global
Economic Outlook, November 2013
Namun, situasi berbalik ketika memasuki 2013. Ketika
Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus moneter di awal
Juni 2013, terjadi turbulensi ekonomi di negara-negara berkembang seperti
India, Indonesia, dan China, sehingga tertular perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini terjadi karena adanya penarikan secara besar-besaran dana asing
sehingga berdampak terhadap penguatan nilai tukar mata uang terhadap dollar AS.
Gambar 2. Persentase Pertumbuhan Ekonomi
BRICS May – November 2013
Sumber:
Pusat Pengelolaan Pengetahuan IGJ (2013)
diolah dari Laporan OECD Economic Outlook 2013
Perlambatan pertumbuhan tersebut ditandai dengan
penurunan permintaan domestik, khususnya di BRICS kecuali China. Sedang
berdasarkan laporan OECD, penurunan permintaan tersebut berdampak signifikan
terhadap perekonomian global, khususnya di negara maju. Buktinya, setiap
penurunan permintaan sebesar 2 persen akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan
GDP sebesar 0,4 persen. Perlambatan ini bisa dilihat dari pertumbuhan impor di negara ekonomi
berkembang di sepanjang 2013 dibandingkan 2012.
Gambar 3.
Grafik Ekspor 2012-2013
Sumber: Pusat
Pengelolaan Pengetahuan IGJ (2013) diolah dari UNCTAD-WTO Trade Statistic.
B. Ambruknya
Sektor Pemerintahan dan Darurat Ekonomi Nasional
APBN tampaknya akan menerima hantaman yang besar
dari krisis global. Pertama,
disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah dan oil produk yang akan
membengkakkan pengeluaran subsidi dalam APBN.
Kedua,
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar yang akan melipatgandakan
utang luar negeri, bunga utang dan cicilan utang pokok pemerintah. Kedua hal
ini akan menjadi sumber penyebab utama yang akan menghantam sector keuangan
pemerintah dalam 2014.
Pemicu
utamanya adalah pembengkakan subsidi energi yakni subsidi BBM dan listrik. Belanja
subsidi energi di RAPBN 2014 melonjak Rp 44,1 triliun, dari Rp 284,7 triliun
menjadi Rp 328,7 triliun. Selain itu pemicu yang lebih keras adalah
membengkaknya nilai utang luar negeri pemerintah akibat merosotnya rupiah. Untuk menutup pengeluaran APBN yang
semakin besar untuk membayar bunga utang dan cicilan utang pokok pemerintah
terus mengakumulasi utang luar negeri dan dalam negeri.
Padahal data Bank Indonesia menunjukkan posisi surat
utang negara sampai dengan Oktober 2013 mencapai 915,175
triliun rupiah. Sementara Posisi utang luar negeri pemerintah USD 123,212
miliar. Dengan demikian pada tingkat kurs 12.000 maka total utang
pemerintah secara keseluruhan adalah 1.478,544 triliun utang luar negeri + 915,175 triliun utang dalam negeri. Sehingga
utang pemerintah keseluruhan adalah 2.393,719 triliun.
Sebagaimana diberitakan, rencana utang pemerintah
pusat pada 2014 mencapai 345 triliun.
Senilai 205 triliun ditarik melalui
penerbitan surat berharga negara guna menutup defisit fiskal 2014. Sisanya
sekitar 140 triliun adalah utang untuk
melunasi utang-lama yang jatuh tempo. Cara pemerintah mengatasi masalah dengan
menumpuk utang akan semakin menambah masalah perekonomian dimasa yang akan
datang: memperburuk fundamental ekonomi dan meningkatkan kerentanan nilai
tukar. Hal paling membahayakan adalah negara akan semakin tenggelam dalam
cenkraman bangsa lain oleh beban utang luar dan dalam negeri.
Indonesia terus mengalami deficit perdagangan
sepanjang 2013. Deficit kembali terjadi dalam bulan oktober senilai USD 1,89
miliar. Sepanjang Januari Oktober defisit mencapai 6,36 miliar USD (Kementrian
Perdagagan RI). Defisit perdagangan sepanjang Januari-Oktober sebagian besar
disumbangan oleh impor migas sebesar USD 37,11 dibanding ekspor USD 26,47 atau
mengalami defisit senilai USD - 10,64
miliar. Defisit transaksi berjalan sepanjang Januari–Oktober mencapai USD -24,276 miliar, sedangkan defisit neraca
pembayaran mencapai USD -11,212 miliar.
Data Bank
Indonesia menunjukkan Utang Luar Negeri pemerintah sampai dengan kwartal III
(Oktober 2013) senilai USD 123,212
miliar dan posisi Utang Luar Negeri swasta USD 136,655 miliar. Total
utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai USD 259,867 miliar. Dengan
demikian secara keseluruhan utang luar negeri pemerintah dan swasta dalam
rupiah mencapai 3.118,404 trliun.
Kondisi ini berimplikasi terhadap Pembiayaan pokok dan bunga pemerintah USD 1.283 miliar. Pembiayaan pokok
dan bunga swasta pada kwartal III senilai USD 30.223 miliar. Total pembiayaan
pokok dan bunga pemerintah dan swasta pada kwartal III 2013 mencapai USD 31.506
miliar.
C. Agenda Internasional: Peningkatan Liberalisasi
Perdagangan dan Investasi
Celakanya, dalam
menghadapi ketidakstabilan ekonomi tersebut diatas, strategi liberalisasi
perdagangan dan investasi justru masih terus digalakkan. Olehnya sepanjang
2013, berbagai inisaitif liberalisasi pada tingkat regional maupun
internasional dijalankan melalui peningkatan global supply chain dan fasilitasi perdagangan.
Setidaknya, ada 3
momentum internasional yang digunakan untuk mendorong tercapainya agenda
tersebut di 2013, masing-masing: G-20, APEC, dan World Trade Organization.
G-20
|
APEC
|
WTO
|
• Fiscal
Sustainability untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan
• Structural
Reform : Long term
Financing Investment: Infrastruktur dan SMEs, Financial inclusion, financial
education.
• Memperkuat
sistem perdagangan multilateral di WTO.
|
• Mencapai pertumbuhan ekonomi global melalui fiscal
sustainability
• Mendorong pembukaan pasar dengan mendukung multilateral
trading system dan meningkatkan investasi dan perdagangan
• Fasilitasi
investasi untuk infrastruktur dan memperkuat
sektor swasta.
|
• Paket Bali yang terdiri dari Trade
Facilitation, LDCs, Agriculture
• Perjanjian
Trade
Facilitation akan memfasilitasi perdagangan dan
investasi, yang kemudian bersifat legally
binding bagi seluruh anggota WTO.
|
Di penghujung 2013, Indonesia menjadi tuan rumah
penyelenggaraan Konferensi Tingkat Menteri IX WTO. Terdapat 3 rumusan dasar
yang disepakati dalam KTM yang memberi konsekuensi buruk bagi Indonesia dan
warga dunia, sebagai berikut: trade
facilitation yang memberikan komitmen tinggi terhadap kemudahan arus barang
dari negara-negara maju ke negara berkembang dan miskin.
Berikutnya agriculture
yang memberi konsekuensi langsung terhadap hilangnya kedaulatan negara
berkembang untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan menyusun strategi
kedaulatan pangannya dalam jangka panjang. Terakhir, LDC’s packet. Disini, negara-negara miskin mendapati komitmen rendah dari
negara maju untuk meningkatkan kinerja perdagangannya.
D.
Liberalisasi Ekonomi Indonesia Melalui Perjanjian Perdagangan dan Investasi
Ditengah ketidak-stabilan perekonomian nasional
sebagai dampak dari kondisi ekonomi makro global, Pemerintah Indonesia kembali
mengikatkan diri pada komitmen liberalisasi yang lebih luas lagi. Selama ini,
liberalisasi melalui WTO dan regionalisme ASEAN telah menyisakan banyak
persoalan dan hingga saat ini belum mampu menyelesaikan kemiskinan dan
pengangguran di Indonesia. Bahkan, pengelolaan sumber daya alam telah jatuh ke
tangan asing yang semakin mendominasi penguasaannya. Saat ini, pemerintah
Indonesia telah menandatangani berbagai perjanjian perdagangan baik secara
bilateral maupun regional. Bentuknya bisa berupa Bilateral Investment Treaties
(BITs) dengan bab investasi dan Free Trade Agreement. Setidaknya ada 63 BIT
yang telah diselesaikan oleh pemerintah Indonesia sampai dengan Juni 2012 dan
45 dari 63 BIT sudah dilaksanakan.
Selain itu juga terdapat 20 Free Trade Agreement
(FTA) hingga Januari 2013. Beberapa perjanjian yang sudah ditandatangani dan
dilaksanakan adalah : ASEAN -Australia – New Zealand FTA dan di kawasan: ASEAN
FTA. Beberapa perjanjian yang masih dalam tahap negosiasi: ASEAN-EU FTA, India
– Indonesia Comprehensive Economic Cooperation Agreement , Indonesia –
Australia FTA, Indonesia – EFTA FTA, Korea – Indonesia FTA.selain itu juga terdapat
perjanjian yang masih di dalam tahap konsultasi : ASEAN-Pakistan FTA,
Comprehensive Economic Partnership for East Asia (CEPEA / ASEAN + 6), East Asia
FTA (ASEAN + 3), Indonesia – Chile, US – Indonesia FTA. Pada tingkat regional,
Indonesia memimpin dalam adopsi dan implementasi Kerangka kerja ASEAN untuk
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). RCEP menjadi alat kerjasama ekonomi untuk
menggabungkan ASEAN dengan 6 partner negara lainnya seperti: China, Korea,
Jepang, Australia, New Zealand dan India (ASEAN+6).
Sebelumnya ASEAN +3
(China, Jepang, Korea) telah tergabung dalam kesepakatan East Asia Free Trade
Agreement. Pada saat ini RCEP masih dalam proses negosiasi dan akan melaunching
pembicaraan pada ASEAN Summit dan menyelesaikan negosiasinya seiring dengan
ASEAN Economic Community 2015. Topik di dalam scooping paper RCEP terkait
dengan barang dan jasa dan investasi. RCEP ini akan menciptakan pasar untuk 16
Negara yang terintegrasi di kawasan Asia Pasifik yang mencakup 3.4 milyar orang
dengan GDP sebesar US$20 milyar.
Beberapa contoh kebijakan ekonomi Indonesia sepanjang 2013
yang tidak selaras dengan kepentingan nasional:
- RUU Perdagangan sebagai bentuk pengawasan negara terhadap berbagai perjanjian perdagangan yang telah ditandatangani oleh pemerintah berjalan lambat sepanjang 2013 ini. Sementara itu, kehadiran RUU Perdagangan menjadi penting dalam kerangka pengawasan dan perlindungan terhadap masyarakat yang terkena dampak liberalisasi perdagangan. Di tengah maraknya berbagai perjanjian perdagangan, pemerintah seakan mengulur RUU Perdagangan yang pada saat ini masih berkutat kepada pembahasan Daftar Invetarisir Masalah. RUU Perdagangan yang sekarang ini, dalam bentuknya adalah harmonisasi terhadap aturan WTO dan berbagai Free Trade Agreement, bukan sebagai fungsi yang diinginkan untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional.
- Kebijakan pengaturan impor produk pangan yang diterbitkan oleh Kementrian Perdagangan sepanjang tahun 2013 telah membuktikan bahwa pemerintah lebih memfasilitasi impor produk pangan, alih-alih sebagai pengendalian harga. Beberapa kebijakan yang terkait dengan impor komoditas pangan adalah:
Pertama, Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai dalam
Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai. Kedua,
Permendag Nomor 47 Tahun 2013 tentang Perubahan Permendag Nomor 16 Tahun 2013
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Ketiga, Permendag Nomor 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan
Ekspor Hewan dan Produk Hewan.
Permendag 24/2013
telah menyebabkan harga kedelai naik pada bulan Agustus lalu. Dengan adanya
permendag ini, para importir diharuskan memiliki surat izin impor yang
menyebabkan kedelai menjadi terhambat masuk ke Indonesia. Melalui Permendag ini juga
berpotensi memberikan peluang kartel terhadap importir kedelai di Indonesia.
Permendag 47/2013
telah menyebabkan kartel impor produk bawang putih di Indonesia. Pemerintah membebaskan importasi sebanyak-banyaknya selama perusahaan
tersebut mampu merealisasikan minimal 80% dari izin yang diberikan.
Permendag Nomor 46/2013 tentang
Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan.
Ketentuan ini mengatur batas
maksimal harga normal daging di tingkat ritel atau eceran dalam negeri,
konsekuensinya adalah buka tutup impor daging. Hal ini membuka peluang bagi
para importir ternak untuk dapat memainkan harga di pasar.
Proyeksi 2014
dan Rekomendasi
Mencermati pemburukan kualitas pertumbuhan ekonomi
dunia yang ditandai dengan semakin derasnya aliran barang dan kapital ke
Negara-negara berkembang. Kian melemahnya kualitas pertumbuhan ekonomi nasional
Indonesia, yang ditandai dengan: defisit neraca perdagangan, meningkatnya utang
luar negeri, kekacauan dalam pengelolaan subsidi. Ditambah lagi dengan semakin
tingginya komitmen Indonesia dalam agenda liberalisasi perdagangan dan
investasi, melalui G-20, APEC, dan WTO. Maka Indonesia for Global Justice
menilai tahun 2013 sebagai puncak
integrasi liberalisasi ekonomi yang berpotensi menyebabkan hilangnya
kedaulatan ekonomi Indonesia untuk jangka panjang.
Tahun 2013 telah digunakan oleh Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhono untuk menjadikan Indonesia sebagai etalase dunia, baik dalam
kaitan menyambungkan sumberdaya alam Indonesia terhadap mesin industri di
Negara-negara maju maupun sebaliknya, menyambung hasil industri tersebut ke
pasar domestik Indonesia. Inilah yang disebut Politik Etalase. Pada situasi
demikian, tanpa apa pembenahan menyeluruh, 2014 ditandai dengan: meningkatnya
nilai impor produk pangan dan energi, melebarnya defisit neraca perdagangan,
penerimaan Negara yang bersumber dari pajak akan menurun, yang pada akhirnya
akan berdampak langsung terhadap kualitas kesejahteraan rakyat.
Oleh sebab itu, tahun 2014 sebagai tahun politik
tidak boleh sekedar mengahasilkan rezim baru, tapi harus menghasilkan pula
komitmen tinggi untuk memperkuat kedaulatan ekonomi nasional Indonesia.
Caranya, perlu melakukan evaluasi terhadap perjanjian perdagangan dan investasi
internasional, termasuk mengambil langkah pembatalan terhadap perjanjian yang
memberi implikasi buruk terhadap ekonomi nasional Indonesia. Lalu, mendukung peningkatan
produktivitas pangan nasional dengan dukungan politik anggaran pro pertanian
dan perikanan.( Sumber: Indonesia For Global Justice)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar