Lima Aspek KeberhasilanPemilu
Ada lima aspek yang
memengaruhi keberhasilan prinsip Luber Jurdil dalamPemilu. Pertama,aturan Pemilu harus baik dan adil sehingga tidak mengandung perbedaan interpretasi serta mencakup keseluruhan permasalahan.Kedua,
pemilih yang cerdas.Pemilih yang cerdas dipengaruhi tingkat pendidikan rakyat yang
baik dan tingkat kesejahteraan rakyat yang
baik.“Ini alamiah saja karena demokrasi memerlukan kecerdasan dan rasionalitas.Terbukti negara-negara baru
yang tingkat pendidikannya dan kesejahteraannya kurang menjadi gagal dalam berdemokrasi.Kalau sudah sejahtera,
rakyat tidak akan tergiur dengan iming-iming uang. Begitu juga dengan rakyat yang
pendidikannya sudah tinggi akan terhina bila dibayar dengan uang.
Namun karena tingkat pendidikan kita masih jauh dari harapan maka berlakulah prinsip ekonomi berupa politik uang.
Ketiga, parpol dan elit politik yang baik.bila elit politik rusak dan budaya organisasi dalam berpolitik juga rusak maka masyarakat
pun akan ikut terdorong untuk berbuat tidak baik. Oleh karena itu,parpol harus memiliki budaya berorganisasi
yang baik sehingga dapat meningkatkan kualitas demokrasi.
Keempat,penyelenggara pemilu
yang
independen dan profesional juga menjadi aspek penting dalam mewujudkan keberhasilan penyelenggaraan Pemilu.Dalam kondisi masyarakat
Indonesia yang serba kurang saat ini, penyelenggara Pemilu yang
independen dan profesional menjadi kunci penting terwujudnya pelaksaan demokrasi yang
baik lewat keberhasilan penyelenggaraan Pemilu. “Penyelenggara Pemilu adalah palang pintu pertama untuk mengawal Pemilu
yang demokratis di tengah segala kondisi di Indonesia. Hal itu berlaku baik bagi
KPU, Panwaslu, maupun Bawaslu”.
Kelima,peradilan yang kredibel dan independen.
Peradilan merupakan palang pintu yang terakhir untuk mewujudkan demokrasi yang
baik.Kalau semua kondisi dalam pelaksanaan Pemilu tidak baik maka peradilan harusnya tetap berada pada kondisi
yang baik.Sebab, bila peradilan pun
tidak kredibel dan independen maka gagalah seluruh kehidupan berdemokrasi.(winartopemimpinRedaksi
Forum Indonesia
Pers Tionghoa Dalam Pergerakan Indonesia
Sejarah mencatat etnis Tionghoa sangat literer atau menggeluti
dunia tulis menulis.
Dalam 'Sejarah Pers Awal dan Kebangkitan Kesadaran Ke-Indonesia-an' (2003), disebutkan warga Tionghoa merupakan pelanggan surat kabar sejak akhir abad ke XIX. Meski tidak sebanyak orang-orang Indo Eropa, sejumlah peranakan Tionghoa pun mulai menjadi pemimpin surat kabar berbahasa Melayu Rendah di Batavia.
Seiring dengan perkembangan pendidikan di kalangan mereka, peranakan Tionghoa mulai banyak menerbitkan dan memimpin berbagai penerbitan dengan bahasa Melayu Rendah pada awal abad XX. Bahasa Melayu Rendah bisa diartikan sebagai bahasa pergaulan (Melayu-Pasar) yang banyak digunakan peranakan Tionghoa di Jawa karena tidak lagi menguasai bahasa leluhur mereka. Karena begitu besar sumbangan dan peranan orang-orang peranakan Tionghoa dalam pengembangan bahasa Melayu Rendah, bahasa ini akhirnya disebut sebagai Melayu-Tionghoa. Pada awal abad XX, sejumlah penerbitan pers berbahasa Melayu Tionghoa mulai bermunculan, seperti Sin Po, Keng Po, dan Perniagaan atau Siang Po di Batavia.
Di Surabaya ada Suara Poeblik, Pewarta Soerabaya dan Sin Tit Po. Ada juga Warna Warta dan Djawa Tengah (Semarang), Sin Bin (Bandung), Li Po (Sukabumi), Tjin Po dan Pelita Andalas (Medan), Sinar Sumatera dan Radio (Padang), dan Han Po (Palembang).Surat kabar Sin Po memiliki catatan khusus dalam sejarah pergerakan Indonesia. Media itulah yang pertama kali menyebarluaskan syair 'Indonesia Raya' beserta partiturnya pada 10 November 1928, atau dua pekan setelah dikumandangkan pertama kali secara instrumentalia oleh WR Supratman pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.Di koran itu, WR Supratman menulis dengan jelas 'lagu kebangsaan' di bawah judul 'Indonesia'. Benny Setiono dalam 'Tionghoa Dalam Pusaran Politik' (2008) menulis, Sin Po yang berarti Surat Kabar Baru, mencetak 5.000 eksemplar teks lagu Indonesia Raya dan dihadiahkan kepada WR Supratman, yang bekerja sebagai reporter di mingguan itu sejak 1925. Oleh WR Supratman, kemudian ribuan koran itu dijual.
Sin Po, yang pertama kali terbit sebagai mingguan pada 1 Oktober 1910, juga merupakan surat kabar yang mempelopori penggunaan kata 'Indonesia' menggantikan 'Nederlandsch-Indie', 'Hindia-Nerderlandsch', atau 'Hindia Olanda'. Harian ini juga yang menghapus penggunaan kata 'inlander' dari semua penerbitannya karena dirasa sebagai penghinaan oleh rakyat Indonesia.
Kemudian, sebagai balas budi, pers Indonesia mengganti sebutan 'Cina' dengan 'Tionghoa' dalam semua penerbitannya. Dalam percakapan sehari-hari, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian juga mengganti kata 'Cina' dengan kata 'Tionghoa'.
Koran Sin Po saat itu memang memiliki pandangan politik yang pro-nasionalis Tiongkok. Namun karena alasan itu pulalah, yakni berdasar ajaran Dr Sun Yat Sen, Sin Po mendukung perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam San Min Chu I, Sun Yat Sen menulis perkembangan kemerdekaan Tiongkok tidak akan sempurna selama bangsa-bangsa di Asia belum merdeka.
Gerakan pro-nasionalis Tiongkok yang didukung Sin Po akhirnya sirna seiring dengan kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, yang juga banyak didukung tokoh-tokoh Tionghoa. Kemerdekaan itu kini sudah menjadi milik bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya keturunan Tionghoa.( Merdeka)
Dalam 'Sejarah Pers Awal dan Kebangkitan Kesadaran Ke-Indonesia-an' (2003), disebutkan warga Tionghoa merupakan pelanggan surat kabar sejak akhir abad ke XIX. Meski tidak sebanyak orang-orang Indo Eropa, sejumlah peranakan Tionghoa pun mulai menjadi pemimpin surat kabar berbahasa Melayu Rendah di Batavia.
Seiring dengan perkembangan pendidikan di kalangan mereka, peranakan Tionghoa mulai banyak menerbitkan dan memimpin berbagai penerbitan dengan bahasa Melayu Rendah pada awal abad XX. Bahasa Melayu Rendah bisa diartikan sebagai bahasa pergaulan (Melayu-Pasar) yang banyak digunakan peranakan Tionghoa di Jawa karena tidak lagi menguasai bahasa leluhur mereka. Karena begitu besar sumbangan dan peranan orang-orang peranakan Tionghoa dalam pengembangan bahasa Melayu Rendah, bahasa ini akhirnya disebut sebagai Melayu-Tionghoa. Pada awal abad XX, sejumlah penerbitan pers berbahasa Melayu Tionghoa mulai bermunculan, seperti Sin Po, Keng Po, dan Perniagaan atau Siang Po di Batavia.
Di Surabaya ada Suara Poeblik, Pewarta Soerabaya dan Sin Tit Po. Ada juga Warna Warta dan Djawa Tengah (Semarang), Sin Bin (Bandung), Li Po (Sukabumi), Tjin Po dan Pelita Andalas (Medan), Sinar Sumatera dan Radio (Padang), dan Han Po (Palembang).Surat kabar Sin Po memiliki catatan khusus dalam sejarah pergerakan Indonesia. Media itulah yang pertama kali menyebarluaskan syair 'Indonesia Raya' beserta partiturnya pada 10 November 1928, atau dua pekan setelah dikumandangkan pertama kali secara instrumentalia oleh WR Supratman pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.Di koran itu, WR Supratman menulis dengan jelas 'lagu kebangsaan' di bawah judul 'Indonesia'. Benny Setiono dalam 'Tionghoa Dalam Pusaran Politik' (2008) menulis, Sin Po yang berarti Surat Kabar Baru, mencetak 5.000 eksemplar teks lagu Indonesia Raya dan dihadiahkan kepada WR Supratman, yang bekerja sebagai reporter di mingguan itu sejak 1925. Oleh WR Supratman, kemudian ribuan koran itu dijual.
Sin Po, yang pertama kali terbit sebagai mingguan pada 1 Oktober 1910, juga merupakan surat kabar yang mempelopori penggunaan kata 'Indonesia' menggantikan 'Nederlandsch-Indie', 'Hindia-Nerderlandsch', atau 'Hindia Olanda'. Harian ini juga yang menghapus penggunaan kata 'inlander' dari semua penerbitannya karena dirasa sebagai penghinaan oleh rakyat Indonesia.
Kemudian, sebagai balas budi, pers Indonesia mengganti sebutan 'Cina' dengan 'Tionghoa' dalam semua penerbitannya. Dalam percakapan sehari-hari, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian juga mengganti kata 'Cina' dengan kata 'Tionghoa'.
Koran Sin Po saat itu memang memiliki pandangan politik yang pro-nasionalis Tiongkok. Namun karena alasan itu pulalah, yakni berdasar ajaran Dr Sun Yat Sen, Sin Po mendukung perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam San Min Chu I, Sun Yat Sen menulis perkembangan kemerdekaan Tiongkok tidak akan sempurna selama bangsa-bangsa di Asia belum merdeka.
Gerakan pro-nasionalis Tiongkok yang didukung Sin Po akhirnya sirna seiring dengan kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, yang juga banyak didukung tokoh-tokoh Tionghoa. Kemerdekaan itu kini sudah menjadi milik bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya keturunan Tionghoa.( Merdeka)
Suara Rakyat Bukan Gratis
Memasuki
tahun politik 2014 , dipastikan
semakin banyak tawaran-tawaran
kebaikan dari para calon pemimpin bangsa kepada rakyat. Mereka menawarkan
diri agar dipilih sebagai calon wakil rakyat pada pemilu legislatif dan atau presiden
. Bahkan mereka lebih suka diundang menghadiri sebuah
perkumpulan rakyat .Sudah barang tentu, berbagai strategi, penunjukkan
sukarelawan, atau disebut sebagai tim sukses digerakkan secara maksimal.
Itulah sebabnya, menjadi
calon wakil rakyat tidak mudah dan juga tidak murah. Bagi orang yang tidak punya
modal cukup, kiranya tidak akan mampu berkompetisi memperebutkan suara
rakyat. Kini pemilih merasa ,bahwa
berpolitik juga terkait dengan ekonomi. Dahulu ideologi dan politik
menyatu. Dalam suasana seperti itu, rakyat mau berkorban
untuk tokoh politik yang didukungnya. Namun berbeda dengan dulu,
sekarang ini terasa sekali bahwa ekonomi dan politik yang sedang berjalan
seiring. Inilah yang menyebabkan konsep berjuang juga berubah menjadi
bertransaksi. Tatkala harus memilih seseorang sebagai calon wakilnya,
maka pertanyaan yang harus dijawab secara jelas terlebih
dahulu adalah, mereka akan mendapatkan apa dan
berapa. Pemilih sadar bahwa mereka yang berlomba dan
berebut,bukan rakyat yang secara iklas memberi amanah,maka rakyat pemilih
tidak akan membiayai,semestinya,
rakyat yang berkepentingan memberi amanah kepada para calon wakil yang
akan dipercaya untuk memperjuangkan aspiranya.
Wajah perpolitikan
bangsa ini agaknya masih belum sehat. Para calon wakil rakyat masih
mencari-cari dan bahkan memperebutkan dengan berbagai cara terhadap
suara rakyat. Padahal semestinya rakyat yang mencari siapa yang layak
diidolakan untuk mewakilinya. Keadaan berbalik seperti itu, tentu tidak
sehat. Manakala kondisi itu diteruskan, maka bangsa ini
akan semakin jauh dari tujuan yang ingin diraih. Proses politik seperti itu,
bukan akan menghasilkan pemimpin atau wakil yang berkualitas, melainkan akan
jatuh kepada siapa saja yang memiliki uang.
Akibatnya,
rakyat tidak saja diperebutkan, tetapi juga diperdagangkan. Sebagai
bahan dagangan, tentu posisinya tergantung pada siapa yang memperdagangkan.
Terserah mau dijual kemana, tergantung pada pemiliknya. Tokh, suaranya
sudah dibeli. Manakala hal itu yang benar-benar terjadi, maka bukan
berdemokrasi lagi secara murni, melainkan demokrasi yang diperdagangkan.
Itulah resiko dari tatkala rakyat mau dibeli suaranya dan bukan
berposisi sebagai pembeli.
|
||
Untuk memperoleh upah
layak karyawan tidak harus bekerja
dengan jam kerja terlalu panjang.Upah layak harus diperoleh selama jam kerja
normal ,meski apa yang dianggap jam kerja
normal bervariasi disetiap negara,namun organisasi internasional seperti ILO menyarankan jam kerja normal tidak melebihi 84
jam dalam seminggu. Bukan hanya Bank Dunia,OECD dan ILO tetapi Upah layak diakui
PBB sebagai hak asasi manusia.
Upah layak merupakan penghasilan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar karyawan dan keluarganya.Ini berarti
bahwa pekerja mendapat uang yang cukup untuk membayar makanan,perumahan,pakaian
dan layanan yang sangat diperlukan lainya seperti kesehatan,transportasi dan
pendidikan anak-anak.Pengertian upah layak dapat ditelusuri pada UU
13/2003,pasal 88 ‘” setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ,untuk mewujudkan penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud ayat
(1),pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh “
Pengusaha harus memahami bahwa sudah
menjadi kepentingan pengusaha untuk membayar upah layak bagi karyawanya,agar
mereka lebih percaya diri,bekerja lebih produktif dan berdedikasi tinggi pada
perusahaan.Upah layak jelas bukan upah minimum,diberbagai Negara dengan
peraturan upah minimum,karyawan harus dibayar setidaknya sebesar upah minimum
yang ditetapkan,tetapi upah layak merupakan rekomendasi untuk mencapai standart
hidup yang layakUpah layak juga dimaksudkan menjaga pekerja dan keluarganya
dari kemiskinan,juga kewajiban moral dan pendapatan untuk pekerjaan yang telah
dilakukan.Garis kemiskinan hanya dimaksudkan untuk mencegah orang kelaparan
bekerja atau tidak
MenataUlangPemiluKada
Dalam konteks semacam itu sebanarnya tidak ada yang salah dengan demokrasi.
Yang tidak pas adalah adanya prilaku penyalahgunaan prosedur dan kaidah
demokrasi yang dilakukan oleh para Power-Seekers
dansebagian para pemilih. Sejumlah desain kelembagaan bisa diintrodusir untuk
mengatasi masalah tersebut. Diantaranya adalah penyederhanaan pemilihan.
Misalnya saja, penggunaan model Pluralitas di dalam Pilkada. Dalam model
demikian siapapun yang memperoleh suara terbanyak otomatis menang. Selain itu,
perlu ada pembatasan biaya yang harus dikeluarkan, baik oleh penyelenggaramaupun
oleh calon. Pembatasan ini bisa merujuk pada kondisi ekonomi suatu daerah. Para
penyelenggara harus ditindak tegas. Terakhir, demokrasi membutuhkan prosedur
yang jelas dan adanya komitmen semua pihak untuk melaksanakan dan menaati
prosedur iu,Pihak yang
kalahberlombamengadudanmenggugatkeMK,danpihak yang dinyatakanmenangoleh KPU
akanmempertahankankemenanganitu.Putusan MK yang bersifat final
danmengikatbenyakmenggodacalonkepaladaerahuntukjorjoranpadasetiappersidangandanmembayarpengacarakelaskakapsampaidenganmengirimdemonstranbayaran
di depangedungsaatpersidanganberlangsung.Pihak-pihak yang
belumpuasatasperkaraitumencobamenebarduitkepara hakim
,pendapatinidikuatkanmantanketua MK Mahfud MD (EDITORIAL MEDIA INDONESIA)
“lebihdariseparuhmereka yang berperkaramenyuap hakim konsstitusi”.TertangkapnyaAkilMuhtaroleh KPK
seolahmembenarkanpendapatMahfud,Akilditangkap KPK lantaranperkaraPilkadaGunung
Mas sebuaghkabupaten di Kalimantan Tengah,bahkandisebutbanyak media
perkaraPilkadaLebak,BantenAkiljugatergoda.BentengterakirpengadilanPemiluseolahroboh,tetapi
mental keadilantidakbolehruntuh,Justruinilajsaat yang tepatuntukmemperbaikisitemPemilukada
demi penguatanotonomidaerah.Setidaknyaada 409 kabupaten,1
kabupaten administrasi,93 kota,5kotaadministrasi plus 34 Propinsi,yangberpotensimenggoda
hakim konstitusi,jikasemuacalonkepaladaerahmengajukanpermohonanpengujianperselisihanPemilikada.KasusAkilMohtarmenambahapresiasiatasusulanKementrianDalamNegeri,agarkepaladaerahdipilhDPRD,agarterhindarpraktek-praktekkorupsipadaakirnya,selain
agar tidakmenyedotanggaranNegara.PemilihanGubernurJawaTimur 2013 contohnyamenghabiskan
578 M ataupemilihanGubernurJawa Barat yangmenyedot 1,4 T.MemperbaikisistimPemilukadasudahkebutuhanmutlakditengahberkembangnyaotonami,tetapi
yang terpentingPemilukadamembawadampakkesejahteraan.Ituroh yang sebenarnya.
(winarto bs)
Kedelai,Piye Kabare
Rasanya sedikit tertampar saat
tidak sengaja membaca ulang buku “Dao
De Jing”, sebuah buku setara kitab suci penganut paham Taoisme. Buku
yang salah satu babnya membahas tentang tiga penyebab kemarahan rakyat yang
jika tidak segera diselesaikan masalahnya akan berunjung pada perlawanan rakyat
atau pemberontakan.Tiga hal tersebut adalah rakyat yang kelaparan, pajak rakyat
yang terlalu tinggi dan korupsi besar-besaran oleh pejabat negara. Hal yang
ketiganya bisa kita lihat di negara kita saat ini. Hiii… ngeri!
Tak terbayang jika dengan kondisi
sekarang, jika Amerika atau bangsa luar sedang kumat isengnya dan mengirim 5000
pucuk senjata saja kepada rakyat yang kesal, tak sanggup terbayangkan bagaimana
hancurnya negara ini.Mungkin saat saya menuliskan kata “ rakyat kelaparan ”
banyak yang terkekeh dan menganggap lebay.Bantuan BLSM yang (mungkin) tidak
seberapa itu sangat berarti untuk sedikit melonggarkan nafas mereka.Tetapi
dengan krisi kedele mereka menikmati mahalnya tahu tempe meski harga tidak
naik,dalam sebuah acara Agung Jelantik Sanjaya, MBA yang juga anggota
DPR RI Komisi IV membuka beberapa paradoks lain seperti Tempe yang merupakan
menu khas dan wajib bangsa Indonesia ternyata kedelainya mesti impor dari luar
negeri, kalau sekedar impor dari Amerika tentu sudah biasa. Namun jika
dipaparkan data ada sekitar 130 ribu ton impor dari Malaysia, walah-walah. Piye
iki, mas? Belum lagi hak patent pembuatan tempe yang malah dipegang oleh
Jepang, negara yang belum tentu lauk pokoknya tempe. Walah – walah, jauh
sebelum bangsa ini bicara soal alih teknologi atau pemberantasan korupsi.
Ketahanan dan kesediaan pangan nasional itu menjadi langkah awal perbaikan bangsa.
Hal yang sangat cocok dengan filosofi Tao. Urusan perut menjadi perkara utama
dan pertama. Belum lagi persoalan krisis kedelai yang sudah terjadi berulang
kali semenjak era reformasi.
Dari pembukaan acara tersebut, mulai
terlihat pencarian akar masalah untuk di tentukan solusinya. Sangat menarik
saat petinggi Perum Bulog, Sutarto
Alimuso berbagi masukan dan pandangannya. Sangat mengejutkan saat mengatakan bahwa pada zaman Orde Baru dahulu, Indonesia mencapai swasembada kedelai—harga
HPP dari petani itu 1,5 harga beras. Jika harga beras 7000 ribu maka semestinya
10000 ribu. Sedangkan harga HPP sekarang hanya 3700 dipetani dan 9000 pada
kedelai impor.Rendahnya harga kedelai dari petani lokal ini, tentu membuat
petani ogah menanam kedelai. Sedangkan kedelai sendiri biasanya untuk petani di
Jawa, hanya sebagai tanaman sampingan setelah padi saat supply air berkurang. Era
swasembada kedelai, pusat lahan kedelai itu ada di Aceh dan Sumatera Utara.
Ditambah area lain seperti Muaro Bunggo di Jambi. Sedangkan sekarang, semua di
pusatkan ke Jawa. Padahal ada pameo, lahan di Jawa seperti “teori sarung”. Jika
satu ditarik, sisi yang lain terlihat. Jika satu area di Jawa diubah menjadi
area kedelai saja, maka ada kekurangan pasokan beras. Bukan bermaksud
bernostalgia, tetapi konsep pertanian yang baik dan sukses di era Orde Baru
memang tidak perlu gengsi dan malu untuk ditiru.
Sedangkan Profesor Syamsul Bahri,
mantan dekan Universitas Brawijaya bidang pangan ini, juga mengungkapkan
beberapa data menarik mengenai perbandingan industri pertanian Thailand. DI
Thailand, bank di Thailan mengucurkan hingga 6 persen untuk usaha pertanian,untuk
usaha perdagangan hingga 18 persen. Untuk Indonesia? Halah, petani kita buka rekening bank saja masih susah bayar
minimum setoran.Belum lagi nihilnya bea untuk mobil pengangkutan pertanian.
Tidak heran kan sekarang kenapa petani di Thailand mobilnya bagus-bagus,
minimal mobil double cabin yang mewah. Bandingkan dengan Indonesia yang masih
konsisten dengan pick up jenis Carry.Sementara . Undoro Kasih Anggoro, Dirjen
Tanaman Pangan mengatakan bahwa sebenarnya tren produksi Kedelai sudah mulai
naik, namun memang kebutuhan masih jauh diatas produksi. Bahkan dibanding era
Orde baru pun, produksi kedelai nasional saat ini masih jauh dibawahnya.
Mungkin hanya sekitar setengahnya saja. Beberapa masukan perihal area tanam
kedelai non Jawa sepertinya sudah mulai dilaksanakan seperti di Muara Bungo,
Jambi serta proses pengapuran di area lain di Sumatera.
Dan terakir dan sangat memikat,
diberinya kesempatan kepada Adi Widjaya, Msc. Seorang sarjana
biologi dan master pangan yang juga pimpinan Budi Mixed Farming (BMF).
BMF sendiri telah berhasil menciptakan inovasi bibit kedelai unggul bernama
kedelai “Malabar Grobogan”. Penamaan ini tentu sesuai daerah
perusahaannya dibuat dan terbukti sukses membawa Kelompok Tani (KT) Kabul
Lestari menjadi juara nasional kelompok tani agribisnis kedelai bertutut-turutsejak
2010 hingga sekarang.Bagiamana tidak menang, saat pemerintah sedang mencari
bibit kedelai yang bisa berbuah antara 2,2 sd 2,7 ton per hektar, BMF dan KT
Kabul Lestari ini sudah mencapai hasil panen 3,4 sd 4 ton per hektar.Namun
sayangnya, bibit unggul inovasi anak bangsa ini tidak dilirik sama sekali oleh
pemerintah. Bibit dari Amerika dan Brazil yang ber ‘Sertifikasi” yang lebih di
pilih. Sedangkan BMF dan KT Kabul Lestarinya masih belum bisa mendapatkan
sertifikasi dari pemerintah. Aneh sekali,tetapi memang biasa terjadi di negri
iniPadahal dari sample yang dibawanya, hasil kedelai dari Grobogan jauh lebih
bagus bentuknya, lebih pulen dan kadar proteinnya jauh lebih tinggi dibanding
kedelai impor dari negara mana pun. Sungguh saya merasa ada sedikit ‘pelecehan’
terhadap inovasi karya anak bangsa.Semoga saja, persoalan dasar pangan ini
segera terselesaikan. Tentu bukan sekedar kedelai, namun 5 pangan utama lainnya
seperti padi, gula, jagung dan daging sapi. Walau memang sebenarnya mesti
dimasukan pula gandum seperti kata Dirut Bulog dimana sekarang Indonesia sangat
drastis mengkonsumsi gandum tapi batang gandum sulit diketemukan di negeri ini.
Byuh, gara-gara soal pangan ini–
mendadak terngiang-ngiang stiker yang sering kulihat digambar Pak Harto yang
tersenyum dan melambaikan tangan di pantat truk atau bus luar kota dengan
kata pertanyaan yang tertulis :
“Piye
kabare…? Enakan jamanku, Tho?
Nah, monggo yang tidak suka dengan
stiker itu. Ditunggu solusinya.
Memaknai
Kemerdekaan Di Hari Kemenangan
Ya,
68 tahun sudah Indonesia merdeka.
Sebagai Negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki
ragam etnis dan budaya terbanyak dibandingkan Negara lain. Suatu kerukunan
dalam keberagaman yang patut dibanggakan sekaligus pencapaian yang tak mudah
dilakukan. Tentu, sepanjang perjalanan itu, banyak kemajuan yang sudah dicapai,
meski juga menyisakan keberharapan. Salah satu yang perlu kita renungkan adalah
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia
.Jika kita merenungkan kembali
cita-cita bangsa yang dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
terlihat bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar. Dan oleh karenanya,
kemerdekaan harus diwujudkan untuk melindungi segenap bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus ikut melaksanakan
ketertiban dunia. Sebuah cita-cita
luhur yang diwariskan kepada kita untuk
mencapainya, bahkan di kala kondisi perekonomian dunia sedang lesu.Meski banyak
lembaga ekonomi dunia memuji pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun banyak hal
membutuhkan pembenahan guna lebih menguatkan ekonomi nasional. Sebagaimana yang kita alami, harga
berbagai kebutuhan pokok sudah merangkak naik sejak awal Ramadhan, mencapai
puncaknya di hari Kemenangan. Atas berbagai kenaikan harga ini, banyak saudara
kita yang merasakan ketidaknyamanan bahkan kesulitan dalam menjalani hidupnya.
Satu hal yang pasti, Negara ini
masih membutuhkan pembenahan di berbagai bidang. Tentu saja, seluruh masyarakat
harus terlibat dalam pembenahan, sekaligus memperkuat nasionalisme yang ada dalam konsensus bersama:UUD 1945, Pancasila,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika. Yang harus kita
lakukan adalah menjalani peran masing-masing dalam kehidupan bernegara: giat
bekerja untuk membangun bangsa, aktif mengawasi jalannya pemerintahan serta
memenuhi kewajiban perpajakan.Di awal abad ke-21 ini, banyak Negara mengalami
masalah perekonomian yang bersumber dari kegagalan masyarakatnya dalam
kehidupan bernegara. Krisis Eropa memberikan pelajaran berharga bagi kita
semua. Salah satu Negara Eropa, Yunani, mengalami kebangkrutan karena rendahnya
penghimpunan pajak dan korupsi yang merajalela. Negara lain seperti Italia dan
Spanyol tengah berjuang menghadapi krisis dengan masalah yang kurang lebih
serupa.Bagi Negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam melimpah, pajak
menjadi satu-satunya sumber pembiayaan Negara. Selanjutnya, pemanfaatan uang pajak yang telah
dihimpun menjadi krusial terutama dalam distribusi dan pengawasannya. Tidak
optimalnya pemungutan pajak akan berujung pada bertambahnya hutang luar negeri
sebagai sumber pembiayaan Negara. Selain itu, struktur anggaran yang tidak
efisien dan korup juga berimbas pada tinggi kebutuhan pembiayaan yang berujung
pada hutang luar negeri.
Dalam batas tertentu, hutang luar negeri cukup aman dimanfaatkan jika memang dibutuhkan
sebagai investasi, dengan catatan struktur anggaran sangat efisien tanpa adanya
praktik mark-up biaya maupun program yang tidak efektif. Namun jika
hutang luar negeri sudah sedemikian besar, Negara manapun akan kesulitan dalam
menghadapinya. Selain krisis Eropa, pengumuman kebangkrutan kota seperti
Detroit di Amerika Serikat menjadi salah satu renungan kita agar tidak terulang
di Indonesia.Saat ini, rakyat Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa suatu
saat kekayaan alam berlimpah yang dimilikinya akan habis. Cadangan minyak bumi
diperkirakan hanya tersisa untuk 12 tahun lagi. Demikian pula dengan cadangan
gas bumi yang diperkirakan hanya mencukupi hingga 50 tahun kedepan. Banyak
hutan Indonesia yang telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit guna
memperbanyak lapangan kerja. Dan meski tidak diketahui dengan pasti, cadangan
mineral berharga seperti emas, dipastikan akan habis dalam beberapa dekade
mendatang.Dengan kondisi tersebut, rakyat Indonesia harus merenungkan kembali
bahwa kehidupan bernegara di masa mendatang akan sangat ditopangoleh pengumpulan pajak. Harus disadari bahwa Indonesia telah
lama meninggalkan status Negara pengekspor minyak, dan sudah beralih sebagai
pengimpor minyak. Betapa dominannya pembiayaan Negara dari pajak juga sudah
terlihat dalam satu dekade terakhir, dimana pajak mendominasi hingga 70 persen
dari pendapatan Negara.Harus disadari bersama bahwa pemungutan pajak memang
dapat dipaksakan. Namun demikian, alangkah indahnya apabila seluruh lapisan
masyarakat Indonesia yang berkecukupan, menjadi Wajib Pajak patuh, yang bangga dalam membayar pajak. Di beberapa Negara maju, kebanggaan
dalam membayar pajak diwujudkan dalam antusiasme masyarakat dalam mengawasi
penggunaannya. Melalui wakil rakyat, lembaga sosial kemasyarakatan, maupun
jurnalistik media, sangat gencar melakukan kritik atas penggunaan uang pajak
apabila dipandang tidak efektif menyejahterakan rakyat.
Masih dalam suasana Idul Fitri 1434
H, sekaligus merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia, berbagai perenungan di atas
dapat dimaknai sebagai upaya bersama untuk mewujudkan rakyat yang sadar pajak.
Disamping itu, pengawasan dalam penggunaan uang pajak pada hakikatnya adalah
bentuk kebanggaan kita dalam membayar pajak. Semakin bangga dalam membayar
pajak, kita akan semakin peduli bahwa penggunaan uang pajak harus dimanfaatkan
untuk kesejahteraan rakyat. Kesadaran kita dalam membayar pajak, diikuti dengan
kepedulian kita dalam mengawasi penggunaannya, akan membentuk masyarakat yang
sadar dan peduli pajak. Selamat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang ke-68, mohon maaf lahir dan batin, sekali merdeka tetap
merdeka!
RUU ASN Posisikan PNS SebagaiAset
Negara
Untukmemperkuatsistem
merit dalambirokrasi, ASN terdiridari PNS
danpegawaipemerintahdenganperjanjiankerja (PPPK) dengan basis utamakompetensi, kompetisi,
dankinerja. Berbedadenganistilahpegawaihonorerataupegawaitidaktetap (PTT)
padamasasebelumnya, PPPK tidakdapatdiangkatmenjadi PNS.Jaditidaksemuapegawai
yang bekerjauntukpemerintahharusberstatus PNS, tetapidapatberstatuspegawaikontrakberjangkawaktu.Namun
ASN tidakmenggantikan PNS sepertidilansirsalahsatu media.“ASN terdiridari PNS
dan PPPK”,tegasWamen.Perubahanmendasarlain,
RUU ASN inijugaakanmengubahdaripendekatan closed career system yang
sangatberorientasikepadasenioritasdankepangkatan, kepada open career
system yang mengedepankankompetisidankompetensi ASN
dalampromosidanpengisianjabatan. RUU inimeletakkandasarkompetisiterbuka di
antara PNS dalam proses pengisianjabatan, khususnyaeselon I dan II yang
kelakdisebutjabatanpimpinantinggi (JPT). Proses pengisianjabatandalambirokrasiakanmenganutsistempromositerbuka,
yang saatiniolehGubernur DKI Jakarta disebut ”lelangjabatan”.Jika
RUU ASN ditetapkanmenjadiUndang-Undang, pengisian JPT baik di pusatmaupun di
daerahakandilakukansecaraterbukaatau ”dilelang” di antara PNS yang memenuhisyarat-syaratjabatandanstandarkompetensijabatan.
Dengandemikian, PNS daerahdapatmemilikikesempatandudukdalamjabatan-jabatan di
tingkatpusatmaupun di daerahlainnya.Cara ”lelang”
jabataninidiharapkandapatmemperkuatkompetisi di antara PNS, menggerakkanpengetahuandanmobilitas
PNS, sertamemperkuatimplementasi NKRI. Beberapapokokpengaturan lain dalam RUU
ASN antara lain
menyangkutsistemdanstrukturpenggajianberbasiskinerjadanpemberhentianpegawaikarenataktercapainyakinerjadalambeberapatahunberturut-turut,
sertakewajiban re-apply (melamar ulang) bagi pejabat yang
telahmendudukijabatanselamalimatahununtukdudukkembalipadajabatan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar