Jumat, 15 November 2013

Uang Panas Cukai Tembakau


Implementasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) memperlihatkan fenomena penyimpangan. Ini tidak saja terjadi pada tahap implementasi berupa penggelembungan anggaran program, namun juga pada penentuan prioritas sasaran bentuk-bentuk program yang dibuat pemerintah daerah (Pemda) setempat.
Hal ini dikemukakan peneliti Indonesia Berdikari, Pradnanda Berbudi, saat memaparkan kesimpulan hasil penelitian tim riset IB di lima sentra tembakau yaitu propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat di Jakarta, pada 23 Juli 2013 lalu,
.Menurut Nanda, sumber distorsi berawal dari produk perundang-undangan pada tingkat nasional yaitu UU Cukai yang dirumuskan serampangan. “Celakanya ketika ditelisik, sumber distorsi berawal dari UU Cukai yang dirumuskan serampangan,” tegasnya.Lebih lanjut dijelaskan Nanda, rumusan yang serampangan ini setidaknya dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, jika menelisih nomenklatur yang digunakan ialah Dana Bagi Hasil (DBH), namun regulasi yang mengatur DBH-CHT adalah perundang-undangan yang “independen” dari konsepsi perundang-undangan otonomi daerah secara umum.
Kedua, papar Nanda, Undang-Undang No 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sebagai landasan filosofis dan normatif tata kelola cukai dan eksistensi DBH CHT, ternyata tidak mengamanatkan adanya Peraturan Pemerintah (PP), melainkan langsung melompat pada regulasi di tingkat Kementerian Keuangan.“Regulasi ini ternyata berdampak membuka celah begitu besar bagi Kementerian Keuangan memberikan tafsiran manasuka (arbitrary),” ujar Nanda.
Ketiga, lanjut Nanda, tafsiran manasuka Kemenkeu inilah sumber mula distorsi kebijakan desentralisasi keuangan, baik itu pada tingkat kebijakan maupun implementasi.
“Ini terlihat kasat mata ketika kita bicara tugas pengawasan serta pemberian sanksi terhadap penggunaan cukai tembakau, yaitu ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008,” jelasnya.
Nanda mengritik bahwa aturan ini tampak sangat ambigu. Apabila penggunaan DBH CHT mengindikasikan penyimpangan, maka indikasi tersebut akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.“Sayangnya, pemberian sanksi penyalahgunaan ternyata hanya berupa sanksi administratif dan bukan berupa sanksi pidana,” kata Nanda.
Sementara para aktifis LSM tidak nampak serius menyuarakan dugaan penyelewengan dana sektor bagi hasil tembakau,tercatat di Tulungagung ,Trenggalek, Pacitan ,Ponorogo termasuk yang bisa disebut adem ayem ,bahkan peneliti Indonesia Berdikari, Gugun el Guyanie, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sejumlah LSM yang selama ini menyuarakan isu korupsi dan clean government, namun tidak terpanggil terhadap isu penyalahgunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT),tetapi sulitnya mengakses data DBHCT di berbagai daerah menjadi alasan para pegiat LSM .Gugun menduga, selain atmosfir common sense selama ini cenderung menganak-tirikan sektor industri hasil tembakau (IHT), lebih jauh karena kebanyakan para pelaku korupsi tersebut adalah elit lokal yang jauh dari dinamika pusaran pusat kekuasaan elit nasional di ibukota.
“Isu korupsi DBH CHT sepertinya tidak seksi sebagaimana korupsi elite partai semacam Nazarudin-Anas Urbaningrum atau Fathanah-Lutfi,” katanya.Alih-alih mendesain kinerja dan spirit clean government Pemda yang sukses mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat, maka sebaliknya-lah yang terjadi.“Bukan tidak mungkin distorsi regulasi DBH CHT malah bermuara pada munculnya fenomena korupsi secara kolegial dan sistemik, bahkan konstitusionalistik. Padahal korupsi adalah korupsi!,” Lebih jauh menurut Gugun, jika merujuk pada upaya pencegahan tindak pidana korupsi, maka semestinya sistemnya dibenahi. Tantangan kita ialah bagaimana mendesain sistem yang mempersulit munculnya celah dan potensi korupsi.“Pasalnya, sistem yang dikontruksi secara serampangan, sebagaimana kasat mata pada kasus DBH CHT, jelas akan sangat membuka potensi munculnya pat-gulipat penyalahgunaan budget anggaran negara,” tukas Gugun
Korupsi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau di Berbagai  Daerah
Berbagai modus penyalahgunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), belakangan mulai banyak diungkap oleh pihak Kepolisian maupun Kejaksaan.  Korupsi penggunaan dana tersebut mulai dari pembuatan kegiatan fiktif, mark up biaya kegiatan hingga untuk membiayai perjalanan dinas dan pembelian kendaraan operasional dinas. Tentu saja hal tersebut bertentangan dengan maksud awal dari dikembalikannya DBHCHT ke daerah, yang dimaksudkan untuk menaikkan kualitas produksi tembakau dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Kabupaten Madiun
Petugas Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Madiun, Jawa Timur, diduga menyelewengkan dana bagi hasil cukai tembakau senilai  755 juta. Penyelewengan dana yang dikucurkan pada tahun anggaran 2010 itu terbongkar setelah adanya laporan dari masyarakat. Pada tahun anggaran 2010, Pemkab Madiun menerima DBHCT dari pemerintah pusat  6 miliar. Dana itu lalu dikucurkan kepada enam satuan kerja, salah satunya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans). Oleh Disnakertrans, uang itu dipakai untuk menyelenggarakan sejumlah kegiatan, seperti sosialisasi, pemberian bantuan modal kerja, dan pelatihan keterampilan kepada perusahaan rokok skala kecil.Fakta yang ditemukan penyidik Polres Madiun, laporan kegiatan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Banyak kegiatan fiktif sehingga menimbulkan kerugian negara ratusan juta rupiah.  Contohnya kegiatan pembinaan kepada pabrik rokok. Setelah ditelusuri, pembinaan itu tidak pernah dilakukan. Pabrik rokok yang disebutkan dalam laporan pertanggungjawaban mendapatkan pembinaan ternyata sudah tutup sejak lama.
.Kabupaten Bojonegoro
Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro melakukan penyelidikan dugaan korupsi anggaran dari hasil cukai tembakau Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro 2011 senilai 1,7 miliar . Dana tersebut dicairkan melalui Dinas Koperasi dan UMKM Bojonegoro. Penyelewengan anggaran tersebut, diduga terkait dengan proses pencairan dana untuk koperasi, pengusaha tembakau dan kelompok tani.
Kota Surabaya
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengusut dugaan korupsi anggaran dari hasil cukai tembakau senilai 2 miliar  di lingkungan Pemkot Surabaya. Informasi  lain menyebutkan penyelewengan anggaran itu diduga terkait dengan pengadaan tempat khusus merokok yang tersebar di beberapa tempat di instansi Pemkot Surabaya.Pembangunan tempat merokok yang dipersoalkan di antaranya di Gedung DPRD Surabaya, Balai Kota Surabaya, gedung Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko), Kantor Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya, dan sejumlah tempat lainnya.Anggaran untuk membangun tempat merokok itu mencapai 100 juta  per unit, sedangkan jumlah unit tempat merokok di masing-masing instansi bervariasi, ada yang hanya satu unit, dua unit, dan ada pula yang sampai enam unit seperti di gedung DPRD Surabaya senilai 2 miliar rupiah.
 Pelanggaran yang dilakukan Direktur Rumah Sakit Bhakti Dharma Husada  ( BDH), yang berkantor di JL  Raya Kendung  No 115 – 117 terkait Dana Bagi Hasil Cukai Dan Tembakau ( DBHCT ),  yang tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan teknis  yang telah di atur didalam  Peraturan Gubenur ( Pergub ) No 6  Tahun 2012 dan Peraturan Walokota ( Perwali ) No 82 Tahun 2011 tentang  teknis pelaksanaan  Penggunaan  Dana DBHCT  Namun hal itu tidak semuanya dipenuhi oleh Direktur  RS BDH Maya  Syharia  Saleh  , ditambah lagi ada dugaan kuat bahwa  terkait harga kesehatan yang dibeli oleh  RS BDH melalui  lelang dengan mengunakan Dana Bagi Hasil Cukai Dan Tembakau  diatas harga pasar, artinya adanya dugaan pengelembungan  anggaran  keuangan  tentu saja bertentantangan dengan Perpres  No  70 Tahun 2012 yang baru , penganti  Perpres No 54 Tahun 2010.
Keseriusan  Kasi Pidsus  Tanjung Perak dalam menguak kasus dugaan penyimpangan  hibah DBHCT yang dilakukan oleh Direktur RS Bhakti Dharma Husada  sudah terlihat jelas dari kinerja Tim Pidsus  Kejari Tanjung Perak dalam pengumpulan data  diapangan . Pantauan salah satu media menyebut  Direktur  RS BDH tidak pernah melakukan  pencegahan  ( Preventif ) dalam menggunakan Dana bagi Hasil Cukai Dan Tembakau  hanya melakukan  pengobatan ( Kuratif )  saja  dan itu jelas menyimpang  juklak dan Juknis  Pergub No 6 Tahun 2012 .
Kota Mojokerto
Mantan Kadisnakertrans  Kota Mojokerto, Bagus Wahyu Broto, didudukkan sebagai pesakitan dalam kasus korupsi DBHCHT tahun 2009, yang merugikan Negara 270 juta .  Dipaparkan sebelumnya oleh JPU bahwa, terdakwa saat menjabat sebagai Kadisnakertrans Bagus memerintahkan Kabid Bina Lindung Disnakertrans Kota Mojokerto, Ulifah (terdakwa lain) agar tidak melakukan proses lelang pada pengadaan sejumlah barang. Modus proyek pengadaan yang dilakukan terdakwa Bagus, dibuat secara terpisah, sehingga tidak perlu dilelangkan.
Proyek untuk melakukan sosialisasi, pelatihan dan pembelian barang-barang penyuluhan akibat budaya merokok. tersebut selanjutnya dimark-up dan diajukan dengan dana sebesar 450 juta . Namun hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim, ditemukan kerugian negara sebesar  270 juta.
Kabupaten Karanganyar
Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Karanganyar Kastono DS diduga terlibat dalam kasus dugaan penyimpangan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) 2009 senilai 5,6 miliar rupiah. Kasi Pidsus Kejari Karanganyar, Bambang Tedjo Manikmoyo menambahkan pihaknya telah meminta keterangan 10 pejabat eselon II yang telah menerima DBHCHT tahun 2008. Pemeriksaan dilakukan secara maraton sehingga bisa menentukan pihak yang palin bertanggungjawab dalam kasus ini.
Sepuluh pejabat di lingkungan Pemkab Karanganyar adalah pejabat di Bagian Perekonomian, Bagian Hukum, Bappeda, Dinas Pertanian, Disperindagkop, Dinas Kesehatan, BP4K, BLH, DP2KAD dan Dinsosnaker.
Sebagaimana diketahui, dana bagi hasil cukai hasil tembakau tahun 2009 senilai 5,662 miliar rupiah dibagikan untuk 10 SKPD, yakni Bagian Perekonomian 2.96 miliar ,  Bagian Hukum 150 juta , Bappeda 450 juta , Dinas Pertanian 446 juta , Disperindagkop 400 juta , Dinas Kesehatan 335 juta , BP4K 150 juta , BLH 200 juta , DP2KAD 420 juta  dan Dinsosnaker 150 juta .Namun dalam praktiknya, penerima bantuan dana bergulir dari DBHCHT senilai Rp 1,75 miliar diduga fiktif dan tidak tepat sasaran. Selain itu sebagian digunakan untuk membeli mobil dinas dan studi banding Pemkab Karanganyar ke luar Pulau Jawa. Hampir senilai  1,02 miliar lebih digunakan untuk membeli mobil operasional dan perjalanan dinas.
Kabupaten Bantul
Kepala Dinas Pertanian Bantul, Edy Suhariyanta,  ditetapkan sebagai tersangka korupsi  tembakau Virginia, setelah Kepala Kejati DIY, Suyadi, meneken Surat Perintah Penyidikan (Sprindik)  bernomor 01/0.4/Fd.1/02/2013 pada 27 Februari lalu.Sebelumnya, dalam fakta persidangan korupsi tembakau virginia dengan terdakwa Sudjono, Ketua Kelompok Tani Bumi Tirta, yang menerima hibah senilai 570 juta rupiah pada 2009 terungkap, Edy Suhariyanta terlibat dalam kasus ini. Edy dituding merancang alokasi hibah yang bersumber dari pungutan cukai tembakau Pemerintah DIY dan Pemerintah Kabupaten Bantul, dengan cara meminta petani membuat kelompok di antaranya kelompok fiktif untuk mengajukan bantuan hibah.
Namun dalam pelaksanaanya, dana yang disalurkan tak digunakan sesuai peruntukanya, hanya 47,6 juta  saja yang digunakan untuk program intensifikasi tembakau virginia. Sisanya digunakan untuk membayar utang kelompok tani tembakau di Bank Bantul.  ( winarto,bs dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar