Rasanya sedikit tertampar saat
tidak sengaja membaca ulang buku “Dao
De Jing”, sebuah buku setara kitab suci penganut paham Taoisme. Buku
yang salah satu babnya membahas tentang tiga penyebab kemarahan rakyat yang
jika tidak segera diselesaikan masalahnya akan berunjung pada perlawanan rakyat
atau pemberontakan.Tiga hal tersebut adalah rakyat yang kelaparan, pajak rakyat
yang terlalu tinggi dan korupsi besar-besaran oleh pejabat negara. Hal yang
ketiganya bisa kita lihat di negara kita saat ini. Hiii… ngeri!
Tak terbayang jika dengan kondisi
sekarang, jika Amerika atau bangsa luar sedang kumat isengnya dan mengirim 5000
pucuk senjata saja kepada rakyat yang kesal, tak sanggup terbayangkan bagaimana
hancurnya negara ini.Mungkin saat saya menuliskan kata “ rakyat kelaparan ”
banyak yang terkekeh dan menganggap lebay.Bantuan BLSM yang (mungkin) tidak
seberapa itu sangat berarti untuk sedikit melonggarkan nafas mereka.Tetapi
dengan krisi kedele mereka menikmati mahalnya tahu tempe meski harga tidak
naik,dalam sebuah acara Agung Jelantik Sanjaya, MBA yang juga anggota
DPR RI Komisi IV membuka beberapa paradoks lain seperti Tempe yang merupakan
menu khas dan wajib bangsa Indonesia ternyata kedelainya mesti impor dari luar
negeri, kalau sekedar impor dari Amerika tentu sudah biasa. Namun jika
dipaparkan data ada sekitar 130 ribu ton impor dari Malaysia, walah-walah. Piye
iki, mas? Belum lagi hak patent pembuatan tempe yang malah dipegang oleh
Jepang, negara yang belum tentu lauk pokoknya tempe. Walah – walah, jauh
sebelum bangsa ini bicara soal alih teknologi atau pemberantasan korupsi.
Ketahanan dan kesediaan pangan nasional itu menjadi langkah awal perbaikan bangsa.
Hal yang sangat cocok dengan filosofi Tao. Urusan perut menjadi perkara utama
dan pertama. Belum lagi persoalan krisis kedelai yang sudah terjadi berulang
kali semenjak era reformasi.
Dari pembukaan acara tersebut, mulai
terlihat pencarian akar masalah untuk di tentukan solusinya. Sangat menarik
saat petinggi Perum Bulog, Sutarto
Alimuso berbagi masukan dan pandangannya. Sangat mengejutkan saat mengatakan bahwa pada zaman Orde Baru dahulu, Indonesia mencapai swasembada kedelai—harga
HPP dari petani itu 1,5 harga beras. Jika harga beras 7000 ribu maka semestinya
10000 ribu. Sedangkan harga HPP sekarang hanya 3700 dipetani dan 9000 pada
kedelai impor.Rendahnya harga kedelai dari petani lokal ini, tentu membuat
petani ogah menanam kedelai. Sedangkan kedelai sendiri biasanya untuk petani di
Jawa, hanya sebagai tanaman sampingan setelah padi saat supply air berkurang. Era
swasembada kedelai, pusat lahan kedelai itu ada di Aceh dan Sumatera Utara.
Ditambah area lain seperti Muaro Bunggo di Jambi. Sedangkan sekarang, semua di
pusatkan ke Jawa. Padahal ada pameo, lahan di Jawa seperti “teori sarung”. Jika
satu ditarik, sisi yang lain terlihat. Jika satu area di Jawa diubah menjadi
area kedelai saja, maka ada kekurangan pasokan beras. Bukan bermaksud
bernostalgia, tetapi konsep pertanian yang baik dan sukses di era Orde Baru
memang tidak perlu gengsi dan malu untuk ditiru.
Sedangkan Profesor Syamsul Bahri,
mantan dekan Universitas Brawijaya bidang pangan ini, juga mengungkapkan
beberapa data menarik mengenai perbandingan industri pertanian Thailand. DI
Thailand, bank di Thailan mengucurkan hingga 6 persen untuk usaha pertanian,untuk
usaha perdagangan hingga 18 persen. Untuk Indonesia? Halah, petani kita buka rekening bank saja masih susah bayar
minimum setoran.Belum lagi nihilnya bea untuk mobil pengangkutan pertanian.
Tidak heran kan sekarang kenapa petani di Thailand mobilnya bagus-bagus,
minimal mobil double cabin yang mewah. Bandingkan dengan Indonesia yang masih
konsisten dengan pick up jenis Carry.Sementara . Undoro Kasih Anggoro, Dirjen
Tanaman Pangan mengatakan bahwa sebenarnya tren produksi Kedelai sudah mulai
naik, namun memang kebutuhan masih jauh diatas produksi. Bahkan dibanding era
Orde baru pun, produksi kedelai nasional saat ini masih jauh dibawahnya.
Mungkin hanya sekitar setengahnya saja. Beberapa masukan perihal area tanam
kedelai non Jawa sepertinya sudah mulai dilaksanakan seperti di Muara Bungo,
Jambi serta proses pengapuran di area lain di Sumatera.
Dan terakir dan sangat memikat,
diberinya kesempatan kepada Adi Widjaya, Msc. Seorang sarjana
biologi dan master pangan yang juga pimpinan Budi Mixed Farming (BMF).
BMF sendiri telah berhasil menciptakan inovasi bibit kedelai unggul bernama
kedelai “Malabar Grobogan”. Penamaan ini tentu sesuai daerah
perusahaannya dibuat dan terbukti sukses membawa Kelompok Tani (KT) Kabul
Lestari menjadi juara nasional kelompok tani agribisnis kedelai bertutut-turutsejak
2010 hingga sekarang.Bagiamana tidak menang, saat pemerintah sedang mencari
bibit kedelai yang bisa berbuah antara 2,2 sd 2,7 ton per hektar, BMF dan KT
Kabul Lestari ini sudah mencapai hasil panen 3,4 sd 4 ton per hektar.Namun
sayangnya, bibit unggul inovasi anak bangsa ini tidak dilirik sama sekali oleh
pemerintah. Bibit dari Amerika dan Brazil yang ber ‘Sertifikasi” yang lebih di
pilih. Sedangkan BMF dan KT Kabul Lestarinya masih belum bisa mendapatkan
sertifikasi dari pemerintah. Aneh sekali,tetapi memang biasa terjadi di negri
iniPadahal dari sample yang dibawanya, hasil kedelai dari Grobogan jauh lebih
bagus bentuknya, lebih pulen dan kadar proteinnya jauh lebih tinggi dibanding
kedelai impor dari negara mana pun. Sungguh saya merasa ada sedikit ‘pelecehan’
terhadap inovasi karya anak bangsa.Semoga saja, persoalan dasar pangan ini
segera terselesaikan. Tentu bukan sekedar kedelai, namun 5 pangan utama lainnya
seperti padi, gula, jagung dan daging sapi. Walau memang sebenarnya mesti
dimasukan pula gandum seperti kata Dirut Bulog dimana sekarang Indonesia sangat
drastis mengkonsumsi gandum tapi batang gandum sulit diketemukan di negeri ini.
Byuh, gara-gara soal pangan ini–
mendadak terngiang-ngiang stiker yang sering kulihat digambar Pak Harto yang
tersenyum dan melambaikan tangan di pantat truk atau bus luar kota dengan
kata pertanyaan yang tertulis :
“Piye
kabare…? Enakan jamanku, Tho?
Nah, monggo yang tidak suka dengan
stiker itu. Ditunggu solusinya.
piye kabare, masbroow?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar