Sabtu, 28 September 2013

Kedelai,Piye Kabare


Rasanya sedikit tertampar saat tidak sengaja membaca ulang buku “Dao De Jing”, sebuah buku setara kitab suci penganut paham Taoisme. Buku yang salah satu babnya membahas tentang tiga penyebab kemarahan rakyat yang jika tidak segera diselesaikan masalahnya akan berunjung pada perlawanan rakyat atau pemberontakan.Tiga hal tersebut adalah rakyat yang kelaparan, pajak rakyat yang terlalu tinggi dan korupsi besar-besaran oleh pejabat negara. Hal yang ketiganya bisa kita lihat di negara kita saat ini. Hiii… ngeri!

Tak terbayang jika dengan kondisi sekarang, jika Amerika atau bangsa luar sedang kumat isengnya dan mengirim 5000 pucuk senjata saja kepada rakyat yang kesal, tak sanggup terbayangkan bagaimana hancurnya negara ini.Mungkin saat saya menuliskan kata “ rakyat kelaparan ” banyak yang terkekeh dan menganggap lebay.Bantuan BLSM yang (mungkin) tidak seberapa itu sangat berarti untuk sedikit melonggarkan nafas mereka.Tetapi dengan krisi kedele mereka menikmati mahalnya tahu tempe meski harga tidak naik,dalam sebuah acara Agung Jelantik Sanjaya, MBA yang juga anggota DPR RI Komisi IV membuka beberapa paradoks lain seperti Tempe yang merupakan menu khas dan wajib bangsa Indonesia ternyata kedelainya mesti impor dari luar negeri, kalau sekedar impor dari Amerika tentu sudah biasa. Namun jika dipaparkan data ada sekitar 130 ribu ton impor dari Malaysia, walah-walah. Piye iki, mas? Belum lagi hak patent pembuatan tempe yang malah dipegang oleh Jepang, negara yang belum tentu lauk pokoknya tempe. Walah – walah, jauh sebelum bangsa ini bicara soal alih teknologi atau pemberantasan korupsi. Ketahanan dan kesediaan pangan nasional itu menjadi langkah awal perbaikan bangsa. Hal yang sangat cocok dengan filosofi Tao. Urusan perut menjadi perkara utama dan pertama. Belum lagi persoalan krisis kedelai yang sudah terjadi berulang kali semenjak era reformasi.
Dari pembukaan acara tersebut, mulai terlihat pencarian akar masalah untuk di tentukan solusinya. Sangat menarik saat petinggi Perum Bulog,  Sutarto Alimuso berbagi masukan dan pandangannya. Sangat mengejutkan saat  mengatakan bahwa pada zaman Orde Baru dahulu,  Indonesia mencapai swasembada kedelai—harga HPP dari petani itu 1,5 harga beras. Jika harga beras 7000 ribu maka semestinya 10000 ribu. Sedangkan harga HPP sekarang hanya 3700 dipetani dan 9000 pada kedelai impor.Rendahnya harga kedelai dari petani lokal ini, tentu membuat petani ogah menanam kedelai. Sedangkan kedelai sendiri biasanya untuk petani di Jawa, hanya sebagai tanaman sampingan setelah padi saat supply air berkurang. Era swasembada kedelai, pusat lahan kedelai itu ada di Aceh dan Sumatera Utara. Ditambah area lain seperti Muaro Bunggo di Jambi. Sedangkan sekarang, semua di pusatkan ke Jawa. Padahal ada pameo, lahan di Jawa seperti “teori sarung”. Jika satu ditarik, sisi yang lain terlihat. Jika satu area di Jawa diubah menjadi area kedelai saja, maka ada kekurangan pasokan beras. Bukan bermaksud bernostalgia, tetapi konsep pertanian yang baik dan sukses di era Orde Baru memang tidak perlu gengsi dan malu untuk ditiru.
Sedangkan Profesor Syamsul Bahri, mantan dekan Universitas Brawijaya bidang pangan ini, juga mengungkapkan beberapa data menarik mengenai perbandingan industri pertanian Thailand. DI Thailand, bank di Thailan mengucurkan hingga 6 persen untuk usaha pertanian,untuk usaha perdagangan hingga 18 persen. Untuk Indonesia? Halah, petani  kita buka rekening bank saja masih susah bayar minimum setoran.Belum lagi nihilnya bea untuk mobil pengangkutan pertanian. Tidak heran kan sekarang kenapa petani di Thailand mobilnya bagus-bagus, minimal mobil double cabin yang mewah. Bandingkan dengan Indonesia yang masih konsisten dengan pick up jenis Carry.Sementara . Undoro Kasih Anggoro, Dirjen Tanaman Pangan mengatakan bahwa sebenarnya tren produksi Kedelai sudah mulai naik, namun memang kebutuhan masih jauh diatas produksi. Bahkan dibanding era Orde baru pun, produksi kedelai nasional saat ini masih jauh dibawahnya. Mungkin hanya sekitar setengahnya saja. Beberapa masukan perihal area tanam kedelai non Jawa sepertinya sudah mulai dilaksanakan seperti di Muara Bungo, Jambi serta proses pengapuran di area lain di Sumatera.
Dan terakir dan sangat memikat, diberinya kesempatan kepada  Adi Widjaya, Msc. Seorang sarjana biologi dan master pangan yang juga pimpinan Budi Mixed Farming (BMF). BMF sendiri telah berhasil menciptakan inovasi bibit kedelai unggul bernama kedelai “Malabar Grobogan”. Penamaan ini tentu sesuai daerah perusahaannya dibuat dan terbukti sukses membawa Kelompok Tani (KT) Kabul Lestari menjadi juara nasional kelompok tani agribisnis kedelai bertutut-turutsejak 2010 hingga sekarang.Bagiamana tidak menang, saat pemerintah sedang mencari bibit kedelai yang bisa berbuah antara 2,2 sd 2,7 ton per hektar, BMF dan KT Kabul Lestari ini sudah mencapai hasil panen 3,4 sd 4 ton per hektar.Namun sayangnya, bibit unggul inovasi anak bangsa ini tidak dilirik sama sekali oleh pemerintah. Bibit dari Amerika dan Brazil yang ber ‘Sertifikasi” yang lebih di pilih. Sedangkan BMF dan KT Kabul Lestarinya masih belum bisa mendapatkan sertifikasi dari pemerintah. Aneh sekali,tetapi memang biasa terjadi di negri iniPadahal dari sample yang dibawanya, hasil kedelai dari Grobogan jauh lebih bagus bentuknya, lebih pulen dan kadar proteinnya jauh lebih tinggi dibanding kedelai impor dari negara mana pun. Sungguh saya merasa ada sedikit ‘pelecehan’ terhadap inovasi karya anak bangsa.Semoga saja, persoalan dasar pangan ini segera terselesaikan. Tentu bukan sekedar kedelai, namun 5 pangan utama lainnya seperti padi, gula, jagung dan daging sapi. Walau memang sebenarnya mesti dimasukan pula gandum seperti kata Dirut Bulog dimana sekarang Indonesia sangat drastis mengkonsumsi gandum tapi batang gandum sulit diketemukan di negeri ini.
Byuh, gara-gara soal pangan ini– mendadak terngiang-ngiang stiker yang sering kulihat digambar Pak Harto yang tersenyum dan melambaikan tangan di pantat truk atau bus luar kota dengan kata pertanyaan yang tertulis :
“Piye kabare…? Enakan jamanku, Tho?
Nah, monggo yang tidak suka dengan stiker itu. Ditunggu solusinya.
piye kabare, masbroow?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar