Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie , menghadiri open house yang digelar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara. Meski telah bermaaf-maafan, Jimly tetap
lantang mengkritik keputusan SBY soal penunjukan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi
.
Jimly menilai penunjukan Patrialis tidak transparan. Sebab, terpilihnya mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu dilakukan secara mendadak tanpa ada proses yang mendahuluinya."Anda kan bisa bilang itu tidak transparan, kok ujug-ujug gitu, mendadak. Orang bisa tafsirkan ini tidak partisipatif, tidak transparan," ujar Jimly di Istana Negara, Kamis 8 Agustus lalu.Dia menjelaskan, penjelasan pasal 18 Undang-Undang tentang MK menyebutkan para calon harus diumumkan lebih dulu ke publik. Meski mengkritisi langkah SBY, kata Jimly, pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi tersebut tetap sah karena dipilih presiden."Tapi karena ini kurang sempurna tidak berarti menyebabkan pengangkatan Patrialis tidak sah. Dia tetap sah, tapi bagaimanapun tetap hargai apa yang sudah dihasilkan oleh presiden, cuma ke depan harus diperbaiki," tandasnya.
Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini juga meminta harus ada evaluasi terhadap komposisi hakim konstitusi. Terutama soal keberadaan politikus, karena Patrialis juga merupakan anggota Partai Amanat Nasional (PAN)."Sebaiknya, kalau ke depan saya sarankan hakim konstitusi itu latar belakangnya boleh aja dari mana-mana, tapi begitu sudah masuk dari hakim konstitusi betul-betul jadi negarawan. Syarat jadi negarawan dia tidak punya lagi afiliasi politik. Untuk itu perlu waktu yang cukup untuk penyesuaian," paparnya.Jimly juga meminta agar pemerintah ikut menentukan batas usia calon hakim konstitusi. Sehingga, saat menjabat, yang bersangkutan tidak terlalu muda atau tidak terlalu tua. Dengan cara ini, ia yakin dapat mengurangi percobaan penyuapan saat menggelar persidangan."Biasanya, yang ideal, usia hakim konstitusi jangan terlalu muda. Walaupun Undang-undang tentukan minimal 40 tahun, tapi sebaiknya di atas 60 supaya tidak lagi punya cita-cita duniawi. Satu-satunya jabatan yang disebut negarawan dalam undang-undang dasar itu adalah hakim konstitusi. Presiden pun bukan negarawan karena dia peserta pemilu. Karena itu, kalau belajar dari banyak negara, misalnya di Prancis, anggota termuda umurnya 70," ungkapnya.
Terkait Patrialis, Jimly menolak berkomentar lebih banyak mengenai kapasitasnya sebagai hakim. Dia hanya mempersoalkan pemilihannya yang dinilai terlalu mendadak.
"Kalau kapasitas, tentu hak subjektif dari presiden untuk nilai. Tapi saya kan kenal dia mantan menteri, dia sudah doktor tentu mumpuni. Tapi masalahnya bukan hanya soal Patrialis, tapi semua hakim yang diangkat bagaimana? Kok ujug-ujug," pungkasnya.(agus-pwk jatim).
.
Jimly menilai penunjukan Patrialis tidak transparan. Sebab, terpilihnya mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu dilakukan secara mendadak tanpa ada proses yang mendahuluinya."Anda kan bisa bilang itu tidak transparan, kok ujug-ujug gitu, mendadak. Orang bisa tafsirkan ini tidak partisipatif, tidak transparan," ujar Jimly di Istana Negara, Kamis 8 Agustus lalu.Dia menjelaskan, penjelasan pasal 18 Undang-Undang tentang MK menyebutkan para calon harus diumumkan lebih dulu ke publik. Meski mengkritisi langkah SBY, kata Jimly, pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi tersebut tetap sah karena dipilih presiden."Tapi karena ini kurang sempurna tidak berarti menyebabkan pengangkatan Patrialis tidak sah. Dia tetap sah, tapi bagaimanapun tetap hargai apa yang sudah dihasilkan oleh presiden, cuma ke depan harus diperbaiki," tandasnya.
Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini juga meminta harus ada evaluasi terhadap komposisi hakim konstitusi. Terutama soal keberadaan politikus, karena Patrialis juga merupakan anggota Partai Amanat Nasional (PAN)."Sebaiknya, kalau ke depan saya sarankan hakim konstitusi itu latar belakangnya boleh aja dari mana-mana, tapi begitu sudah masuk dari hakim konstitusi betul-betul jadi negarawan. Syarat jadi negarawan dia tidak punya lagi afiliasi politik. Untuk itu perlu waktu yang cukup untuk penyesuaian," paparnya.Jimly juga meminta agar pemerintah ikut menentukan batas usia calon hakim konstitusi. Sehingga, saat menjabat, yang bersangkutan tidak terlalu muda atau tidak terlalu tua. Dengan cara ini, ia yakin dapat mengurangi percobaan penyuapan saat menggelar persidangan."Biasanya, yang ideal, usia hakim konstitusi jangan terlalu muda. Walaupun Undang-undang tentukan minimal 40 tahun, tapi sebaiknya di atas 60 supaya tidak lagi punya cita-cita duniawi. Satu-satunya jabatan yang disebut negarawan dalam undang-undang dasar itu adalah hakim konstitusi. Presiden pun bukan negarawan karena dia peserta pemilu. Karena itu, kalau belajar dari banyak negara, misalnya di Prancis, anggota termuda umurnya 70," ungkapnya.
Terkait Patrialis, Jimly menolak berkomentar lebih banyak mengenai kapasitasnya sebagai hakim. Dia hanya mempersoalkan pemilihannya yang dinilai terlalu mendadak.
"Kalau kapasitas, tentu hak subjektif dari presiden untuk nilai. Tapi saya kan kenal dia mantan menteri, dia sudah doktor tentu mumpuni. Tapi masalahnya bukan hanya soal Patrialis, tapi semua hakim yang diangkat bagaimana? Kok ujug-ujug," pungkasnya.(agus-pwk jatim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar